Move Up (FF)

Berbicara tentang ujian, memang sangat menakutkan. Apalagi sebuah ujian yang di datangkan dari Tuhan secara langsung. Namun percayalah, dia yang memberikan ujian-Nya maka dia akan berada di samping kita. Kunci untuk melalui ujian tersebut hanya sebuah keberanian, kesebaran juga do’a.
Hari yang sangat menyebalkan. Ini kali perdananya aku bertanding basket dengan sekolah lain. Eh, malah kakiku yang menjadi korban. Feni yang melakukannya. Padahal, dia satu tim denganku.
“Kamu harus keluar dari tim basket ini,” ucap Feni yang merupakan ketua basket di sekolahku. Aku mengabaikan perkataanya dan perhatianku masih tertuju pada luka di kakiku.
“Haah? Apa?” ucapku tak percaya mendengar perkataanya. Keringat terus mengalir di wajahku. Apalagi saat mendengar perkataan tersebut. Apa yang dia bicarakan? Aku tak mengerti sama sekali. Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?
“Iya, sepertinya kamu hanya akan jadi parasit di tim basket ini,” ucapnya dengan santai. Namun perkataannya terdengar sangat tajam dan melukai hati.
“Tidak bisa begitu dong, memangnya salahku apa?” ucapku masih tak percaya dengan perkataanya.
“Salah kamu banyak, gara-gara kehadiramu di tim ini. Aku dan yang lainnya tidak bisa menjadi pemenang,” kali ini dia menatapku dengan penuh kebencian.
“Tapi, itu jelas bukan salahku,” ucapku terus membela diri, karena aku tak merasa bersalah sedikitpun.
“Sudahlah pokoknya kamu sudah dikeluarkan dari tim basket ini,” ucapnya segera berlalu dari hadapanku. Aku tak bisa membendung air mataku.
Ih menyebalkan, bisa-bisanya dia menyalahkanku. Padahal ini bukan salahku, ini salah mereka. Seharusnya aku yang marah pada dia, karena saat tadi bermain, aku merasa bukan timnya, bahkan dia memperlakukanku sebagai musuh. Bagaimana aku bisa bermain dengan baik.
Kini impianku untuk menjadi pemain basket di sekolah ini sudahlah musnah. Padahal aku sangat menginginkannya. Ya sudahlah, apa yang harus ku perbuat. Aku hanya bisa pasrah saja, walaupun aku sangat kecewa.
“Assalamu’alaikum?” aku membukakan pintu rumah sambil memasang wajah yang lusuh.
Tak ada yang menjawab sepatah katapun. Hanya terdengar suara yang sangat bising di telingaku, suara apa itu? Sepertinya itu merupakan suara dari arah dapur. Aku bergegas melangkahkan kakiku.
“Kamu yang salah, gara-gara kamu kita jadi begini,” ucap Bapak sambil menunjuk-nunjuk Ibu.
“Kenapa aku yang salah, bukannya itu keinginanmu,” ucap Ibu tak mau kalah. Aku hanya berdiri di daun pintu sambil melihatnya. Ada apa ini? Apa yang telah terjadi?
“Pokoknya, aku tak akan segan untuk menceraikan kamu,” ucap Bapak
“Ceraikan saja kalau bisa,” Ibu semakin menantang.
“Ish, dasar…,” ucap Bapak terpotong.
“Hentikan,” aku berteriak memotong pembicaraan Bapak.
“Ara,” ucap mereka bersamaan.
Mereka berdua sama-sama menatapku. Dan akan menghampiriku. Namun aku segera berpaling dengan air mata yang bercucuran. Padahal, baru satu jam yang lalu mataku mengeluarkan air mata, dan sekarang juga.
***
Aku tidak focus untuk mencerna materi yang disampaikan oleh guru. Pikiranku masih tertuju pada basket dan kejadian kemari. Ibu dan Bapak yang saling cekcok. Kini pikiranku buyar tak menentu.
Hingga, ujian akhir semester kulalui dengan begitu buruknya.
“Hei,” ucap Gina sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
“Eh iya apa?” ucapku terkejut.
“Kamu kenapa, dari tadi kok ngelamun terus?” ucap Gina mengerutkan keningnya.
“Enggak apa-apa,” jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu jangan berbohong?” ucap Gina yang seakan bisa membaca pikiranku.
“Selamat ya, kamu menjadi juara 1 di kelas kita,” ucapku mengalihkan pembicaraan. Aku tersenyum padanya, namun lebih terlihat seperti nyengir kuda.
“Iya,” ucapnya membalas senyumanku.
Sebenarnya aku merasa iri pada Gina. Padahal, semester sebelumnya aku slalu menjadi juara 1 di kelas. Dan sekarang aku menjadi juara 11. Tidak masuk 10 besar pun. Dan aku mendapat hadiah dari wali kelas, ya sebuah teguran dari beliau, karena prestasiku yang begitu merosot.
Aku merasa dunia ini tak adil. Tuhan tak adil memberikan semua ujian ini padaku secara bersamaan. Sudah di keluarkan dari tim basket, ibu dan bapak yang slalu bertengkar. Kini prestasiku juga merosot. Kalau begini aku tak akan hidup bahagia.
***
Pulang sekolah aku menemukan sebuah Koran yang tergeletak di pinggir jalan. Entah mengapa, aku ingin sekali mengambilnya. Ada sebuah artikel tentang seorang anak tuna grahita yang mempunyai banyak prestasi. Pokoknya isi dari Koran tersebut memuat tentang perjuangan seseorang untuk mencapai impiannya, walaupun banyak kekurangan yang dimilikinya. Ini membuatku menjadi termotivasi. Dan aku ingin bisa melalui semua ujian dari-Nya dengan tuntas.
Aku tak mau menyerah begitu saja. Kenapa orang lain bisa, dan aku tak bisa? Aku juga pasti bisa.
“Bu, kalau Ibu berpisah bagaimana dengan masa depanku nanti?” aku mencoba mendekati Ibu. Aku ingin mencegah mereka untuk bercerai.
“Tapi Ara,” Ibu tak kuasa menahan air matanya.
“Bapak takkan bisa melakukan hal itu, Ibumu sudah keterlaluan,” ucap Bapak memelas.
“Kamu yang keterlaluan,” ucap Ibu menatap tajam ke arah Bapak.
“Gara-gara kamu, bisnisku hancur. Dan sekarang, kita menjadi miskin,”
“Itu salahmu, bukan salahku. Siapa juga yang menyuruh kamu untuk melakukan hal itu,”
“Kamu enggak mikir ya? Ini semua demi kamu dan Ara,”
“Tapi kenyataanya? Kamu hanya membuat hidup aku dan Ara menjadi sengsara,”
“Sudah hentikan, aku tak butuh harta yang berlimpah. Aku hanya menginginkan keluarga yang damai dan menyayangiku. Itu saja, tak lebih,” mataku sudah berkaca-kaca. Mereka terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.
“Ibu dan Bapak menyayangiku kan?” lanjutku dan segera pergi ke kamar untuk mengunci diri. Aku masih berharap supaya mereka tak bertengkar lagi. Semoga saja.
Setelah pembicaraan malam itu, Ibu dan Bapak mulai memperbaiki hubungan mereka.
Perlahan aku mulai memperbaiki prestasiku yang jatuh ke tangan Gina, dan aku akan merebutnya kembali. Tentunya dengan cara yang sehat.
Soal Feni yang mengeluarkanku dari tim basket, aku tidak terlalu memikirkan. Lagian aku bisa bermain basket di tempat les, bukan begitu kan?
Kini aku menjalani hidup dengan bahagia, setelah melewati berbagai rintangan. Rintangan jurang yang harus kusebrangi dengan sebuah jembatan rapuh penuh kerikil. Hidup itu tantangan, apabila aku tidak melewatinya aku takkan bisa mencapai masa depanku.
Memang kalau melihat masa laluku, aku tak percaya akan seperti ini. Bahkan aku tak menyangka aku bisa move on bahkan move up. Kejadian itu akan menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagiku. Dan sekarang aku bisa melewati ujian dari-Nya dengan penuh kesiapan diri, karena pelajaran yang pernah didapatkan di masa laluku.

*Thank's for reading:):


Comments

Popular Posts