Pamali

Pamali
Langkahnya tergesa-gesa, matanya menatap lurus ruas jalan dan tak sesekali ia menatap ke bawah. Di punggungnya menempel ransel besar, sedangkan di kedua tangannya ada bingkisan yang entah apa isinya. Dia menatap ke sebuah tempat dimana ia dibesarkan. Tatapannya sangat kosong, seperti mengingat masa lalu. Kini ia sudah berada di sebuah rumah panggung milik emak dan abah.

Sudah lima tahun ia tak kembali ke kampung halamannya, bukannya tidak ingin atau tidak kangen. Tetapi pekerjaan di kota sangatlah banyak. Ia sudah berjanji akan kembali ke kampung saat dirinya sudah sukses. Sekarang nadzar-nya sudah terpenuhi. Ia kembali dengan sebuah kesuksesan.

“Ujang iraha mulang1? Tos lami teu patepang2” ucap seseorang membuah langkah Ujang terhenti.

“Eh Pak Ustad. Alhamdulillaha baru saja sampai,” ucap Ujang seraya mencium punggung tangan guru ngajinya sejak kecil itu.

“Syukur atuh, Pak Ustad kira Ujang nggak bakalan balik lagi ke sini. Sekarang kamu sudah menjadi orang besar ya Jang,” ucap Pak Ustad menyunggingkan senyumannya.

“Alhamdulillah Pak Ustad, ini juga berkat do’anya Pak Ustad.”

“Iya Jang. Engké dilajengkeun deui ngobrolna3, maaf ya Jang, Pak Ustad mau ke sana dulu. Soalnya ada perlu.”

Ujang hanya mengangguk kecil tanda mengiyakan. Pak Ustad terlihat sangat cemas, seperti ada sebuah hal besar yang ia khawatirkan. Tapi hal itu tak membuat Ujang bertanya-tanya pada dirinya. Entahlah. Ujang tak mau memikirkan akan hal itu, sekarang ia ingin cepat-cepat bertemu dengan Emak dan Abah.

Kini ia sudah memijak rumahnya dan segera mengetuk pintu. Emak dan abah ternyata sudah ada di hadapan Ujang sekarang. Mereka hanya mematung berdiam diri, menatap Ujang lekat. Kedua mata mereka disipitkan, seperti sedang menerka sesuatu.

“Emak Abah ini Ujang,” ucap Ujang seraya tersenyum haru menatap kedua orang tuanya.

Ada banyak rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Bagaimana tidak? Ia sudah tega meninggalkan kedua orang tuanya yang sudah paruh baya itu. Rambut mereka semakin memutih, bahkan semuanya berwarna putih. Gigi yang berjajar rapih itu sudah terlihat tanggal satu demi satu. Kulit mereka yang kencang, sekarang sudah menggendor. Ujang merasakan penyesalan yang amat sangat. Hampir saja ia akan berperilaku seperti malin kundang, kalau seandainya ia tak cepat pulang.

Dipeluknya dengan erat kedua paruh baya itu, air mata sudah bersiap keluar dari pelupuk matanya. Sungguh, ini merupakan kebahagian terbesar yang ia rasakan saat ini. Terlalu sibuk di dunia pekerjaan membuatnya lupa akan kedua orang tuanya di kampung.

***

Sekarang Ujang sudah sukses. Selain karena Ujang memiliki wajah yang tampan dan berkpribadian phlegmatis4 ia juga mapan. Tak heran, kalau di kota ia disenangi perempuan dan bahkan ada seseorang yang memaksa untuk dinikahi. Tetapi Ujang menolak. Padahal, kalau saja ia bersedia menikah dengan perempuan itu ia akan diberikan sebuah cabang perusahaan milik ayah perempuan tersebut. Tetap saja, Ujang menolak. Baginya yang ia butuhkan bukan itu semua, melainkan ketulusan cinta dari seseorang. Yang mana ia juga mempunyai ketulusan untuk mencintai orang tersebut.

Siti Maesyaroh, anak juragan kerbau alias Pak Komar yang sudah membuat Ujang menolak ribuan gadis yang menghampirinya. Siti merupakan perempuan masa lalu Ujang. Dulu ia pernah berpacaran dengan Siti, tetapi Pak Komar tidak merestui. Alasannya cuma satu, karena Ujang anak miskin. Pak Komar tidak mau turun harkat derajatnya hanya karena anaknya harus menikah dengan seorang anak buruh tani.
“Mau ngapain ke sini? Mau melamar anak saya? Jangan harap saya akan menerima lamaranmu. Kamu anak tukang buruh tani, penghasilan keluargamu hanya dua puluh ribu perhari. Buat makan aja nggak cukup. Sekarang kamu berani melamar anak saya? Tidak. Saya tidak akan merestui hubungan kalian. Lebih baik anakku tidak menikah jika harus menikah dengan orang sepertimu. Apalagi kamu hanya tamatan SMP. Sudah jelas bakalan turun martabatku di kampung ini.”
Perkataan Pak Komar itu masih terngiang di telinga Ujang. Samar-samar ia melihat bayangan juragan Komar yang mengejeknya saat dulu. Sekarang lima tahun berlalu. Kehidupan Ujang sudah berubah.
“Ujang badé kamana5?”
Suara serak dari Emak membuat Ujang harus membalikan badan untuk menatapnya.
“Mau ke lahan kosong yang ada di pinggir rumahnya Pak Komar, Mak. Rencananya Ujang mau membangun gudang buat hasil tani di sana. Kan letaknya strategis, apalagi dekat dengan sawah. Jadi Ujang mau lihat-lihat dulu. Kali aja ketemu sama…,”
“Ketemu sama siapa, Jang?” kini giliran Abah yang angkat bicara, ia meletakkan emug-nya6 di atas meja seraya menatap lekat pada Ujang.
“Biasa Emak, Abah, ini urusan anak muda,” ucap Ujang seraya melangkah pergi.
“Tapi Jang, mendingan besok aja. Bisi aya kulit katincek7, apalagi baru tadi sore ada yang…”
Abah mencoba menasehati Ujang untuk tidak pergi malam-malam seperti ini. Tetapi Ujang tak mengacuhkan perkataan Abah, ia tetap melangkah ke luar. Lagian tidak akan ada yang namanya kulit katincek itu hanya ucapan orang tua jaman dulu. Sekarang sudah jamannya modern, nggak ada lagi hal-hal takhayul seperti itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tepat sekali, saat tiba di lahan kosong. Ia bertemu dengan Siti. Perempuan lima tahun lalu itu masih cantik seperti dulu, rambutnya terurai panjang membuatnya, sebuah lesung pipi timbul di pipi kiri. Tak menyesal ia datang ke sini malam-malam, karena akhirnya ia bisa bertemu dengan Siti.
Sorotan mata Siti terlihat bercahaya, remang-remang lampu dari rumah juragan Komar yang besar itu seakan menerangi mereka berdua. Bibirnya membentuk bulan sabit sempurna yang siapa saja melihatnya akan langsung terpukau.
Sebelum mendekat, Ujang merapikan dulu bajunya. Ia tak mau terlihat berantakan seperti dulu saat di depan Siti. Rasa rindu yang terobati itu bercampur dengan rasa gugup yang menjalar ke seluruh tubuh Ujang. Tubuhnya terasa sangat beku, tetapi ia mencoba untuk menutupi kegugupannya.
“Kang Ujang, Siti udah nunggu dari dulu. Sekarang Kang Ujang udah sukses, udah tampan seperti aktor luar negeri,” puji Siti pada Ujang.
“Hm… Alhamdulillah Siti, sekarang juga Siti tambah cantik,” kini giliran Ujang yang memuji.
Keduanya berhadapan, mata mereka beradu pandang satu sama lain. Sunyi senyap.
“Eh Kang Ujang, bukannya aku tidak rindu. Siti harus pulang ke rumah, soalnya udah malam. Nanti Bapa marah,” ucap Siti seraya melangkah pergi.
Ujang hanya menatap punggung Siti sampai tak nampak lagi. Menatapnya beberapa menit seakan melihat sebuah aurora di musim semi. Sungguh sangat ajaib dan menakjubkan. Mungkin esok Siti akan datang ke sini lagi, jadi Ujang berniat datang ke sini lagi sekaligus untuk persiapan membangun sebuah gudang dan pabrik.
Di jalan setapak menuju rumahnya, Ujang terus senyum-senyum sendiri. Ia sudah bertekad meminang Siti, yakin pinangannya sekarang tak akan ditolak oleh juragan. Sekarang dia sudah mempunyai segalanya.
“Ujang udah dari mana, malam-malam begini?”
Lagi-lagi Ujang bertemu dengan Pak Ustad. Tak lupa, setiap bertemu dengan Pak Ustad ia selalu menyalaminya. Pak Ustad menatap tajam pada Ujang, ia mencoba menerka-nerka.
“Udah dari lahan kosong yang dekat dengan rumahnya juragan, Pak Ustad. Saya sedang lihat-lihat lahannya dan memang lahannya sangat strategis.”
“Oh, sebaiknya malam-malam seperti kamu tidak boleh keluar rumah. Apalagi pergi ke sana, tidak baik. Itu sudah jadi aturan dari leluhur kita agar tidak keluar rumah malam-malam.”
Ujang hanya tertawa kecil saat mendengar perkataan Pak Ustad. Perkataan beliau hanya dianggap sebagai angin berlalu yang tidak membekas sedikit pun di ingatannya. Bahkan kalau diibaratkan, perkataan Pak Ustad itu masuk melalui telinga kanan dan langsung dikeluarkannya lewat telinga kiri.
“Ah Pak Ustad, jangan takhayul. Tak ada apa-apa kok, malahan saya bertemu dengan Siti.”
“Siti saha?” ucap Pak Ustad mengangkat kedua alis. Sekali lagi, ia menyorot tajam Ujang.
“Pak Ustad pasti tahu kan, di kampung ini cuma ada satu yang namanya Siti.”
“Maksud Ujang…”
“Pak Ustad, saya pulang dulu ya. Kasian Emak sama Abah sudah ditinggal cukup lama. Assalamu’alaikum,” ucap Ujang memotong pembicaraan Pak Ustad. Ia bergegas pulang.
Keesokan harinya, Ujang pergi kembali ke lahan kosong itu. Sekarang dia sedang memantau pekerjaan di lahan itu. Sudah hampir setengah pembangunan selesai. Maklumlah, pekerjanya sangat banyak. Jadi pembangunannya akan cepat selesai. Setelah itu ia akan membangun rumah di sampingnya, rumah tersebut akan ia tempati bersama Emak dan Abah. Kalaulah ditakdirkan, ia ingin tinggal di rumah tersebut bersama istrinya yaitu Siti. Walaupun belum menikah, tetapi Ujang sudah berpikiran ke sana.
Tinggal lima menit lagi adzan magrib berkumandang, tetapi ia belum melihat Siti juga. Ia tetap bersabar untuk menunggu Siti seraya duduk di bawah pohon beringin yang tidak terlalu besar.
“Ujang, Mang Nana pulang duluan ya. Sudah mau magrib,” ucap Mang Nana yang merupakan salah seorang dari pekerjanya.
“Oh! Muhun8 Mang,” ucap Ujang mengangguk pelan.
“Sebaiknya kamu cepat pulang Jang, tidak baik kalau jam segini masih di luar. Apalagi di tempat kosong seperti, soalnya sudah banyak kejadian ganjil,” ucap Mang Nana sebelum ia pulang.
“Tidak ada apa-apa kok Mang, tenang saja. Saya akan baik-baik di sini.”
“Iya hati-hati aja ya, Jang.”
Mang Nana meninggalkan Ujang sendirian bertepatan dengan berkumandangnya adzan magrib. Tak perlu menghitung detik, tiba-tiba di sampingnya sudah ada Siti. Sontak, hal itu membuat Ujang sedikit kaget. Tapi hal itu ia abaikan, mungkin tadi sedang melamun.
Ujang dan Siti berbincang-bincang panjang lebar. Mereka seperti mengingat kembali masa lalunya. Sampai Ujang memberikan penjelasan kalau ia ingin meminang Siti. Tepat, seperti yang dibayangkan. Siti juga memang sudah menunggu Ujang untuk meminangnya kembali.
Setelah itu Siti memberikan sebuah bunga kepada Ujang. Katanya sebagai tanda hubungan mereka. Alhasil Ujang pun tak bisa menolaknya. Entah mengapa tangan Ujang secara tidak sadar mengarahkan bunga itu ke mulutnya, tanpa sdar juga ia memakan bunga itu. Apakah ini yang namanya cinta? Sampai-sampai bunga pun di makan. Siti tidak mengapuskan senyumannya pada Ujang.
Dalam hitungan beberapa detik, Ujang merasakan tubuhnya berbeda. Perutnya terasa sangat sakit, matanya jadi kabur, denyut jantungnya terasa melambat. Apa yang terjadi?
“Tolong…!!!” Ujang berusaha berteriak sekencang mungkin, Siti yang ada di sampingnya tadi menghilang begitu saja bak di telan angin malam.
“Ujang…” seseorang memanggilnya dari kejauhan. Dari penglihatannya yang sudah buram ia mengetahui kalau orang tersebut adalah juragan Komar.
Kunaon9 Ujang?” lanjut Pak Komar seraya menatap Ujang yang sedang kesakitan.
“Ujang tak sadar sudah memakan bunga ini,” ucap Ujang seraya menunjukan bunga yang ada di genggamannya.
“Sial… Mak Suri berhasil membuat korban lagi.”
“Maksud juragan apa? Siapa Mak Suri. Yang kutemui hanyalah Siti anaknya juragan.”
“Siti sudah meninggal Ujang, itu bukan Siti. Yang kamu anggap Siti itu adalah jelmaan dari Mak Suri yang mempunyai ilmu cindaku. Satu lagi Ujang, bunga yang kamu makan itu adalah bunga Oliander yang sangat beracun. Sekarang kamu bertahan, aku sudah menyuruh anak buahku untuk memanggil Pak Ustad dan Mantri.”
Ujang merasa ada sesuatu yang mengganjal ditenggerokonnya. Siti sudah meninggal dan yang ia temui bukan Siti. Sekarang ia harus menahan sakit akibat bunga Oliander10 yang biasa di pakai untuk bunuh diri di salah satu Negara itu, jantungnya terasa semakin pelan berdetak. Udara di sekitar terasa hampa. Ia hanya bisa berharap agar diberi kesempatan untuk bernafas lagi.
Pak Ustad dan Mantri(11) sudah datang. Sayang sekali. Nyawa Ujang sudah tidak bisa diselamatkan. Ujang sudah menjadi korban Mak Suri.  Sama seperti halnya Ujang, beberapa tahun yang lalu Siti juga menjadi korbannya Mak Suri. Kejadiannya serupa dengan Ujang. Mak Suri mengubah dirinya menjadi Ujang.
Sekarang. Penduduk kampung benar-benar mematuhi aturan yang sudah turun termurun berlaku di kampung tersebut yaitu tidak keluar setelah adzan magrib. Mereka tidak mau menjadi korban Mak Suri itu.








Glosarium
(!)Kapan pulang
(2) Sudah lama tidak bertemu;bertatap muka.
(3)Nanti diteruskan lagi bicaranya.
(4) Seseorang yang berkpribadian damai.
(5) Mau kemana
(6) Tempat minum semacam gelas yang terbuat dari alumunium.
(7)Ada kulit keinjek; larangan untuk pergi keluar malam.
(8) Iya
(9)Kenapa
(10)Bunga beracun
(11)Panggilan kepada seorang perawat, tetapi dianggap sebagai seorang dokter.








Comments

Popular Posts